Pengertian Kontrak
R. Subekti : “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seseorang berjanji kepada seseorang atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.” Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi.
M. Yahya Harahap : “suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.”
Dari pendapat pakar hukum di atas, dapat dipahami bahwa kontrak berisikan janji-janji yang sebelumnya telah disetujui, yaitu berupa hak dan kewajiban yang melekat bagi pihak yang melakukan perjanjian, baik lisan maupun tulisan. Jika tertulis, kontrak itu akan lebih berfungsi untuk menjamin kepastian hukum.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 1-2
Objek Kontrak
Agar suatu kontrak/perjanjian itu sah, objek suatu kontrak harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan; diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan tidak bertentangan ketertiban umum dan tata susila. Sementara itu, prestasinya harus benar-benar rill.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 3
Subjek Hukum Kontrak
Dalam mengadakan suatu kontrak, setiap subjek hukum harus memenuhi suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Jika subjek hukumnya adalah “orang” (natuurlijke persoon), orang tersebut harus sudah dewasa. Namun, jika subjeknya “badan hukum” (recht persoon), harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 3
Syarat Sahnya Kontrak
Dalam Pasal 1320 KUH-Perdata disebutkan bahwa syarat sah kontrak adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Mengenai suatu hal tertentu (objek kontrak)
4. Suatu sebab yang halal
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 14-16
Dasar Hukum Kontrak
a. Umum :
KUH-Perdata
1. Pasal 1233 jo 1234 tentang terjadinya Perikatan
2. Pasal 1313 tentang Persetujuan
3. Pasal 1320 tentang Persyaratan Sahnya Perjanjian
4. Pasal 1321 tentang Pembatalan
5. Pasal 1322 tentang Kekhilafan
6. Pasal 1323-1327 tentang Paksaan
7. Pasal 1328 tentang Penipuan
8. Pasal 1338 tentang Asan Konsensualitas, Asas Kekuatan Mengikat, Asas Kebebasan Berkontrak
9.Pasal 1339 tentang Asas Kepatutan
b. Khusus
Perbankan
1. UU No. 7 Tahun 1992, Pasal 1 ayat 1, Pasal 1 ayat 12
2. KUH-Perdata Pasal 1694: Penitipan barang (Bandingkan dengan UU No. 14 Tahun 1967 Pasal 1 ayat 6 dan 13)
3. KUH-Perdata Pasal 1755 tentang Pinjam-Meminjam
4. KUH-Perdata Pasal 1765 tentang Penitipan dengan Imbalan
5. KUH-Perdata 1754 tentang Pinjaman Mengganti
6. KUH-Perdata Pasal 1253 yo 1263 beda Pinjam Meminjam Uang dengan Bank dan Buku Bank
7. Instruksi Presiden Kabinet No.15/EK/I/10 1966 tanggal 3 Oktober 1966 yo No.10/EK/IN/2/1967 tanggal 16 Febuari 1967 yang menentukan pemberian kredit (jadi bentuk tertulis)
Perseroan Terbatas
UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan selanjutnya di bidang minyak dan gas bumi, serta Keppres No. 16 Tahun 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 30-31
Asas dalam Berkontrak
a. Konsesualisme : perjanjian telah terjadi jika ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak;
b. kebebasan berkontrak;
c. pacta sunt servanda : kontrak merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat).
Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Contoh Teori dan Kasus (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 50-51
Berakhir dan Hapusnya Kontrak
Menurut hukum, ada sepuluh cara hapusnya perjanjian, yaitu :
a. pembayaran;
b. penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, atau sistim konsinyasi;
c. pembayaran utang;
d. perjumpaan utang atau kompensasi;
e. pencampuran utang;
f. pembebasan utang;
g. musnahnya barang yang terutang;
h. batal/pembatalan;
i. berlakunya suatu syarat pembatalan;
j. lewat waktu/kadaluarsa.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 31-32
Risiko, Wanprestasi, dan Keadaan Memaksa
1. Risiko
Menurut Soebekti (2001:144), risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam kontrak.
2. Wanprestasi
Wanprestasi dikatakan jika :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat; atau
d. melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukan.
3. Keadaan Memaksa
Menurut Soebekti (2001:144), untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht/force mayeure) bila :
a. di luar kekuasaannya;
b. memaksa; atau
c. tidak dapat diketahui sebelumnya.
Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Contoh Teori dan Kasus (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 51-57
Cara Penyelesaian Sengketa Yuridis dan Nonyuridi
Cara penyelesaian sengketa ini dikemukakan oleh Ronny Hanitijo Soemitro. Kedua cara penyelesian sengketa tersebut oleh Soemitro dirinci lagi ke dalam dua puluh bentuk/kategori, yang kemudian dikelompokkan lagi ke dalam enam subkategori, yaitu :
1. penyelesaian sengketa sepihak;
2. dikelola sendiri;
3. prayuridis;
4. yuridis-normatif;
5. yuridis-politis;
6. penyelesaian secara kekerasan.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 3-9
Penyelesaian dengan Melalui Pengadilan dan Tidak Melalui Pengadilan
Dikemukakan oleh banyak para sarjana, di antaranya M. Husseyn Umar. Penyelesaian yang tidak melalui pengadilan inilah disebut sebagai “Alternative Dispute Resolution” atau penyelesaian sengketa alternatif. Alternative Dispute Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif ini terdiri dari :
1. Konsiliasi
2. Negosiasi
3. Mediasi
4. Arbitrase
Ada pula dua bentuk alternatif penyelesaian lainnya yang mirip dengan arbitrase, yaitu :
a. Mini-Trial. Bentuk ini dalam Bahasa Indonesia dapat disebut pula dengan “peradilan mini” yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan dalam sengketa-sengketa besar.
b. Med-Arb. Bentuk ini merupakan kombinasi antara bentuk mediasi dan arbitrase. Di sini seorang yang netral diberi wewenang untuk mengadakan mediasi. Namun demikian, dia tidak mempunyai wewenang untuk memutus setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak.
Bentuk-bentuk tersebut oleh Suyud Margono dikelompokkan menjadi tiga kelompok/cara penyelesaian perselisihan, yaitu :
1. perundingan;
2. arbitrase;
3. litigasi.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 11-24
Proses Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase
Pengertian Arbitrase
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 huruf 1, arbitrase adalah “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 28-29
Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
Lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan, diantaranya :
1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
2. dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
(Alinea keempat penjelasan umum UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum).
Erman Rajaguguk menyitir pendapat beberapa pakar menulis bahwa sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui arbitrase di luar negeri daripada pengadilan di Indonesia, karena :
1. Menganggap sistim hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.
2. Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit.
3. Pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilanakan memakan waktu yang lama dengan biaya yang besar karena proses pengadilan akan memakan waktu yang panjang dari tingkat pertama sampai tingkat Mahkamah Agung.
4. Keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan pengadilan bertolak dari anggapan bahwa pengadilan akan bersikap subjektif pada mereka karena sengketa diperiksa dan diadili bukan berdasarkan hukum mereka, oleh hakim yang bukan dari negara mereka.
5. Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang di antara mereka.
Dalam beberapa literatur juga diketahui bahwa ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan mereka, yaitu :
1. ketidakpercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri;
2. prosesnya cepat;
3. dilakukan secara rahasia;
4. bebas memilih arbiter;
5. diselesaikan oleh ahlinya (expert);
6. merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding);
7. biaya lebih murah;
8. bebas memilih hukum yang diberlakukan;
9. eksekusinya mudah;
10. kepekaan arbiter;
11. kecenderungan yang modern.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 32-40
Isi Perjanjian Arbitrase
1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase.
2. Ruang lingkup arbitrase.
3. Apakah arbitrase akan dibuat berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc. Jika memilih ad hoc, maka klausul tersebut harus merinci metode penunjukkan arbiter atau majelis arbitrase.
4. Aturan prosedur yang berlaku.
5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase.
6. Pilihan terhadap hukum substansif yang berlaku bagi arbitrase.
7. Klausul-klausul stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas), jika relevan.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 73-74
Sepuluh Tips untuk Menyelesaikan Kontrak
1. Hindari mendekati pihak lain dengan penuh curiga : jangan berasumsi bahwa pihak lain seluruhnya keliru dan dianggap melanggar kontrak.
2. Jangan buru-buru mengeluarkan ancaman berupa konsekuensi dan penalti.
3. Cobalah memasukkan budaya bisnis setempat ke dalam gaya Anda, dan hargai adat istiadat pihak lain.
4. Ambil langkah pelan, pikirkan gagasan secara cermat.
5. Capailah hasil sedikit demi sedikit, jangan berharap Anda bisa memecahkan seluruh persoalan pada pertemuan pertama.
6. Jangan langsung pokok persoalan, masukilah masalah-masalah yang mudah dipecahkan terlebih dahulu.
7. Bersedialah melakukan kompromi.
8. Berilah kesempatan pihak lain untuk “menyelamatkan muka” tanpa merendahkan atau membebani diri Anda sendiri.
9. Jangan terlalu emosional atau agitatif.
10. Sebelum memulai setiap pertemuan ciptakan pandangan positif mengenai hasil yang ingin Anda capai.
Karla C. Shippely, Kontrak Bisnis Internasional (Jakarta :PPM, 2001), hlm. 136
Kesimpulan :
Metode penyelesaian sengketa yang dipilih akan tergantung pada metode mana yang paling dikenal atau disukai oleh kenegaraan pihak yang bertransaksi. Para pihak harus menetapkan biaya yang diperlukan untuk menegakkan kontrak lintas batas, penundaan pemrosesan perkara, dan mekanisme yang ada yang telah dikembangkan sebagai sarana paling efisien untuk memecahkan masalah. Orang Amerika cenderung dengan cepat memeroses perkara ke pengadilan, sementara orang Cina dan Jepang agak lamban untuk melakukannya. Dan orang Indonesia cenderung memilih arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa disebabkan oleh beberapa keuntungan yang sudah disebutkan sebelumnya (baca hal. 10-11). Kebanyakan bangsa menyukai arbitrase, tapi ada beberapa bangsa yang lebih menyukai negosiasi dan konsiliasi.
R. Subekti : “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seseorang berjanji kepada seseorang atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.” Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi.
M. Yahya Harahap : “suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.”
Dari pendapat pakar hukum di atas, dapat dipahami bahwa kontrak berisikan janji-janji yang sebelumnya telah disetujui, yaitu berupa hak dan kewajiban yang melekat bagi pihak yang melakukan perjanjian, baik lisan maupun tulisan. Jika tertulis, kontrak itu akan lebih berfungsi untuk menjamin kepastian hukum.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 1-2
Objek Kontrak
Agar suatu kontrak/perjanjian itu sah, objek suatu kontrak harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan; diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan tidak bertentangan ketertiban umum dan tata susila. Sementara itu, prestasinya harus benar-benar rill.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 3
Subjek Hukum Kontrak
Dalam mengadakan suatu kontrak, setiap subjek hukum harus memenuhi suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Jika subjek hukumnya adalah “orang” (natuurlijke persoon), orang tersebut harus sudah dewasa. Namun, jika subjeknya “badan hukum” (recht persoon), harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 3
Syarat Sahnya Kontrak
Dalam Pasal 1320 KUH-Perdata disebutkan bahwa syarat sah kontrak adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Mengenai suatu hal tertentu (objek kontrak)
4. Suatu sebab yang halal
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 14-16
Dasar Hukum Kontrak
a. Umum :
KUH-Perdata
1. Pasal 1233 jo 1234 tentang terjadinya Perikatan
2. Pasal 1313 tentang Persetujuan
3. Pasal 1320 tentang Persyaratan Sahnya Perjanjian
4. Pasal 1321 tentang Pembatalan
5. Pasal 1322 tentang Kekhilafan
6. Pasal 1323-1327 tentang Paksaan
7. Pasal 1328 tentang Penipuan
8. Pasal 1338 tentang Asan Konsensualitas, Asas Kekuatan Mengikat, Asas Kebebasan Berkontrak
9.Pasal 1339 tentang Asas Kepatutan
b. Khusus
Perbankan
1. UU No. 7 Tahun 1992, Pasal 1 ayat 1, Pasal 1 ayat 12
2. KUH-Perdata Pasal 1694: Penitipan barang (Bandingkan dengan UU No. 14 Tahun 1967 Pasal 1 ayat 6 dan 13)
3. KUH-Perdata Pasal 1755 tentang Pinjam-Meminjam
4. KUH-Perdata Pasal 1765 tentang Penitipan dengan Imbalan
5. KUH-Perdata 1754 tentang Pinjaman Mengganti
6. KUH-Perdata Pasal 1253 yo 1263 beda Pinjam Meminjam Uang dengan Bank dan Buku Bank
7. Instruksi Presiden Kabinet No.15/EK/I/10 1966 tanggal 3 Oktober 1966 yo No.10/EK/IN/2/1967 tanggal 16 Febuari 1967 yang menentukan pemberian kredit (jadi bentuk tertulis)
Perseroan Terbatas
UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan selanjutnya di bidang minyak dan gas bumi, serta Keppres No. 16 Tahun 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 30-31
Asas dalam Berkontrak
a. Konsesualisme : perjanjian telah terjadi jika ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak;
b. kebebasan berkontrak;
c. pacta sunt servanda : kontrak merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat).
Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Contoh Teori dan Kasus (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 50-51
Berakhir dan Hapusnya Kontrak
Menurut hukum, ada sepuluh cara hapusnya perjanjian, yaitu :
a. pembayaran;
b. penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, atau sistim konsinyasi;
c. pembayaran utang;
d. perjumpaan utang atau kompensasi;
e. pencampuran utang;
f. pembebasan utang;
g. musnahnya barang yang terutang;
h. batal/pembatalan;
i. berlakunya suatu syarat pembatalan;
j. lewat waktu/kadaluarsa.
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional (Palembang : Rajawali Pers, 2005), hlm. 31-32
Risiko, Wanprestasi, dan Keadaan Memaksa
1. Risiko
Menurut Soebekti (2001:144), risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam kontrak.
2. Wanprestasi
Wanprestasi dikatakan jika :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat; atau
d. melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukan.
3. Keadaan Memaksa
Menurut Soebekti (2001:144), untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht/force mayeure) bila :
a. di luar kekuasaannya;
b. memaksa; atau
c. tidak dapat diketahui sebelumnya.
Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Contoh Teori dan Kasus (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 51-57
Cara Penyelesaian Sengketa Yuridis dan Nonyuridi
Cara penyelesaian sengketa ini dikemukakan oleh Ronny Hanitijo Soemitro. Kedua cara penyelesian sengketa tersebut oleh Soemitro dirinci lagi ke dalam dua puluh bentuk/kategori, yang kemudian dikelompokkan lagi ke dalam enam subkategori, yaitu :
1. penyelesaian sengketa sepihak;
2. dikelola sendiri;
3. prayuridis;
4. yuridis-normatif;
5. yuridis-politis;
6. penyelesaian secara kekerasan.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 3-9
Penyelesaian dengan Melalui Pengadilan dan Tidak Melalui Pengadilan
Dikemukakan oleh banyak para sarjana, di antaranya M. Husseyn Umar. Penyelesaian yang tidak melalui pengadilan inilah disebut sebagai “Alternative Dispute Resolution” atau penyelesaian sengketa alternatif. Alternative Dispute Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif ini terdiri dari :
1. Konsiliasi
2. Negosiasi
3. Mediasi
4. Arbitrase
Ada pula dua bentuk alternatif penyelesaian lainnya yang mirip dengan arbitrase, yaitu :
a. Mini-Trial. Bentuk ini dalam Bahasa Indonesia dapat disebut pula dengan “peradilan mini” yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan dalam sengketa-sengketa besar.
b. Med-Arb. Bentuk ini merupakan kombinasi antara bentuk mediasi dan arbitrase. Di sini seorang yang netral diberi wewenang untuk mengadakan mediasi. Namun demikian, dia tidak mempunyai wewenang untuk memutus setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak.
Bentuk-bentuk tersebut oleh Suyud Margono dikelompokkan menjadi tiga kelompok/cara penyelesaian perselisihan, yaitu :
1. perundingan;
2. arbitrase;
3. litigasi.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 11-24
Proses Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase
Pengertian Arbitrase
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 huruf 1, arbitrase adalah “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 28-29
Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
Lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan, diantaranya :
1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
2. dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
(Alinea keempat penjelasan umum UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum).
Erman Rajaguguk menyitir pendapat beberapa pakar menulis bahwa sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui arbitrase di luar negeri daripada pengadilan di Indonesia, karena :
1. Menganggap sistim hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka.
2. Pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit.
3. Pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilanakan memakan waktu yang lama dengan biaya yang besar karena proses pengadilan akan memakan waktu yang panjang dari tingkat pertama sampai tingkat Mahkamah Agung.
4. Keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan pengadilan bertolak dari anggapan bahwa pengadilan akan bersikap subjektif pada mereka karena sengketa diperiksa dan diadili bukan berdasarkan hukum mereka, oleh hakim yang bukan dari negara mereka.
5. Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan merenggangkan hubungan dagang di antara mereka.
Dalam beberapa literatur juga diketahui bahwa ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan mereka, yaitu :
1. ketidakpercayaan para pihak pada Pengadilan Negeri;
2. prosesnya cepat;
3. dilakukan secara rahasia;
4. bebas memilih arbiter;
5. diselesaikan oleh ahlinya (expert);
6. merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding);
7. biaya lebih murah;
8. bebas memilih hukum yang diberlakukan;
9. eksekusinya mudah;
10. kepekaan arbiter;
11. kecenderungan yang modern.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 32-40
Isi Perjanjian Arbitrase
1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase.
2. Ruang lingkup arbitrase.
3. Apakah arbitrase akan dibuat berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc. Jika memilih ad hoc, maka klausul tersebut harus merinci metode penunjukkan arbiter atau majelis arbitrase.
4. Aturan prosedur yang berlaku.
5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase.
6. Pilihan terhadap hukum substansif yang berlaku bagi arbitrase.
7. Klausul-klausul stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas), jika relevan.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (Mataram : Rajawali Pers, 2004), hlm. 73-74
Sepuluh Tips untuk Menyelesaikan Kontrak
1. Hindari mendekati pihak lain dengan penuh curiga : jangan berasumsi bahwa pihak lain seluruhnya keliru dan dianggap melanggar kontrak.
2. Jangan buru-buru mengeluarkan ancaman berupa konsekuensi dan penalti.
3. Cobalah memasukkan budaya bisnis setempat ke dalam gaya Anda, dan hargai adat istiadat pihak lain.
4. Ambil langkah pelan, pikirkan gagasan secara cermat.
5. Capailah hasil sedikit demi sedikit, jangan berharap Anda bisa memecahkan seluruh persoalan pada pertemuan pertama.
6. Jangan langsung pokok persoalan, masukilah masalah-masalah yang mudah dipecahkan terlebih dahulu.
7. Bersedialah melakukan kompromi.
8. Berilah kesempatan pihak lain untuk “menyelamatkan muka” tanpa merendahkan atau membebani diri Anda sendiri.
9. Jangan terlalu emosional atau agitatif.
10. Sebelum memulai setiap pertemuan ciptakan pandangan positif mengenai hasil yang ingin Anda capai.
Karla C. Shippely, Kontrak Bisnis Internasional (Jakarta :PPM, 2001), hlm. 136
Kesimpulan :
Metode penyelesaian sengketa yang dipilih akan tergantung pada metode mana yang paling dikenal atau disukai oleh kenegaraan pihak yang bertransaksi. Para pihak harus menetapkan biaya yang diperlukan untuk menegakkan kontrak lintas batas, penundaan pemrosesan perkara, dan mekanisme yang ada yang telah dikembangkan sebagai sarana paling efisien untuk memecahkan masalah. Orang Amerika cenderung dengan cepat memeroses perkara ke pengadilan, sementara orang Cina dan Jepang agak lamban untuk melakukannya. Dan orang Indonesia cenderung memilih arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa disebabkan oleh beberapa keuntungan yang sudah disebutkan sebelumnya (baca hal. 10-11). Kebanyakan bangsa menyukai arbitrase, tapi ada beberapa bangsa yang lebih menyukai negosiasi dan konsiliasi.