BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Secara
umum terdapat empat permasalahan ekonomi makro, yaitu: (1) tingkat harga
agregat (inflasi); (2) produk domestik bruto (PDB); (3) penyerapan tenaga kerja
(employment); dan (4) neraca
pembayaran atau balance of payment (BOP).
Keempat permasalahan ekonomi makro tersebut dapat dipengaruhi oleh pemerintah
melalui kebijakan fiskal dan moneter, yang umumnya dilaksanakan oleh dua
institusi yang berbeda, yaitu, institusi fiskal (Kementerian Keuangan) dan
institusi moneter (Bank Indonesia). Kebijakan
fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran
negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran
(defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber
penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.
Di
dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan
sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan
sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan
negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari
perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian.
Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak
termasuk dalam penerimaan negara.
Di
lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran
untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara
ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari
perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya
surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan
menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada
besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan
sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment). Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat
dibayai dengan pinjaman luar negeri (official
foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri
dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup
penerbitan obligasi negara (government
bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan
obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri
non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih
tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar
negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan
negara (sustainable). Pada dasarnya
defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian.
2. Masalah
1.
Bagaimanakah
kondisi APBN Indonesia pada tahun 2013, surplus atau defisit?
2. Kebijakan fiskal
apa sajakah yang dilakukan Pemerintah dalam hal membiayai APBN yang defisit?
3. Termasuk
kebijakan fiskal yang kontraktif atau ekspansif kah yang dilakukan Pemerintah
tersebut?
3. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui kondisi APBN Indonesia pada tahun 2013, apakah surplus atau defisit.
2. Untuk
mengetahui kebijakan-kebijakan fiskal yang dilakukan Pemerintah dalam hal
membiayai APBN yang defisit.
3.
Untuk
mengetahui jenis kebijakan fiskal yang dilakukan Pemerintah tersebut, apakah
kontraktif atau ekspansif.
BAB II TEORI
1. Teori
Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi
dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan
jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak jelas
jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika
pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan
industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan
menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Dalam literatur klasik, terdapat
beberapa perbedaan pandangan mengenai kebajikan fiskal, terutama menurut teori
Keynes dan teori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes
berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Hal
ini didasarkan atas pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan uang
terhadap tingkat bunga kecil sekali (extrim-nya nol) sehingga kurva IS tegak.
Kebijakan fiskal yang ekspansif akan menggeser kurva IS kekanan sehingga output meningkat. Sedangkan ekspansi
moneter dengan penambahan jumlah uang beredar pada kurva IS yang tetap tidak
akan berpengaruh terhadap output. Hal
ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efektif dibandingkan dengan
kebijakan moneter.
2. Jenis Kebijakan Fiskal
Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal
dapat dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan Fiskal Ekspansif dan Kebijakan
Fiskal Kontraktif. Kebijakan Fiskal Ekspansif adalah suatu kebijakan ekonomi
dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan
jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah, pada saat munculnya
kontraksional gap. Konstraksional gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (YF) > output Actual (Y1). Pada saat
terjadi kontraksional gap ini kondisi perekonomian ditandai oleh tingginya
tingkat pengangguran dimana Uactual > Ualamiah.
Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T) terhadap output adalah sebagai berikut, pada grafik (2.1) maka dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (ΔG) naik atau selisih pajak (ΔT) turun maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan nasional akan naik dari (Y1) menjadi (YF).
Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T) terhadap output adalah sebagai berikut, pada grafik (2.1) maka dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (ΔG) naik atau selisih pajak (ΔT) turun maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan nasional akan naik dari (Y1) menjadi (YF).
Kebijakan Fiskal Kontraktif
adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan menaikkan
tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat
dan mengatasi inflasi. kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih
besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan
ketika perekonomian pada kondisi ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk
menurunkan tekanan permintaan. pada saat munculnya ekpansionary gap. Ekspansionary
gap adalah suatu kondisi dimana output
potensial (YF) < output Actual (Y1).
Adapun mekanisme penurunan pengeluaran pemerintah (G) ataupun kenaikan pajak
(T). terhadap output (Y). Disaat
pengeluaran pemerintah (ΔG) turun atau selisih pajak (ΔT) naik maka akan
menggeser kurva pengeluaran agregat ke bawah sehingga Pendapatan akan turun dari
(Y1)
menjadi (YF).
BAB III Pembahasan
1. Tentang
Penyusunan APBN
a) Tahun
Anggaran
1) Sebelum tahun 2000 : 1 April s.d. 31 Maret.
2) Tahun 2000 (peralihan) : 1 April s.d. 31 Desember.
3)
Setelah
tahun 2000 : 1 Januari s.d. 31
Desember.
b)
Dasar Penyusunan, Penetapan
dan Pemeriksaan APBN
1)
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
c)
Siklus APBN
1)
Penyusunan & Pembahasan APBN
2)
Penetapan APBN
3)
Pelaksanaan APBN
4)
Laporan Realisasi SM I dan Prognosis SM II APBN
5)
Perubahan APBN
6)
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN
d)
Struktur APBN
1) Sebelum tahun 2000 : Balance
Budget/ Anggaran Berimbang yaitu Penerimaan = Pengeluaran.
2) Setelah tahun 2000 : Struktur APBN menggunakan GFS (Goverment Financial Statistic)
berbentuk I-Account yaitu Penadapatan
> Belanja (Surplus).
e)
Waktu
Penyusunan,Pembahasan dan Penetapan APBN
1)
Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan RAPBN dilakukan pada
tahun sebelum anggaran dilaksanakan.
2)
Contoh: APBN tahun 2013 disusun, dibahas dan ditetapkan pada
tahun 2012.
Tabel 1 Siklus Penyusunan
APBN
Pertengahan Mei
|
Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan APBN
|
|
Pemerintah
menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro RAPBN
tahun berikutnya, yaitu:
|
||
1.
Asumsi dasar ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat bunga SBI,
nilai tukar, harga minyak, lifting (produksi) minyak;
|
||
2.
Kebijakan dalam bidang penerimaan Negara;
|
||
3.
Kebijakan dalam bidang Pengeluaran negara;
|
||
4.
Kebijakan Defisit dan Pembiayaannya.
|
||
Mei s.d. Juni
|
Pembahasan
bersama antara DPR C.q. Panitia Anggaran DPR-RI dengan pemerintah C.q Menteri
Keuangan, Meneg PPN/ Kepala Bappenas dan Gubernur Bank Indonesia.
|
|
Hasil
pembahasan Pembicaraan pendahuluan Penyusunan RAPBN menjadi dasar penyusunan
RUU APBN beserta Nota Keuangannya.
|
||
Tanggal 16 Agustus
|
Pembahasan RUU APBN Beserta Nota Keuangan (Tk. I)
|
|
1.
Presiden menyampaikan pidato pengantar RUU APBN beserta NK-nya dalam Rapat
Paripurna DPR.
|
||
2.
Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi atas RUU APBN beserta NK-nya.
|
||
3.
Jawaban Pemerintah atas PU Fraksi-Fraksi atas RUU APBN beserta NK-nya.
|
||
September s.d. Oktober
|
Pembahasan
RUU APBN beserta Nota Keuangannya antara Pemerintah dengan Panitia Anggaran
DPR-RI
|
|
Akhir Oktober
|
1.
Pembicaraan Tk.II/ pengambilan keputusan atas RUU APBN beserta NK-nya.
|
|
2.
Laporan Panitia Anggaran atas Pembicaraan Tk.I/ Pembahasan RUU APBN
|
||
3.
Pendapat akhir Fraksi-Fraksi atas RUU APBN
|
||
4.
Pendapat akhir Pemerintah atas RUU APBN
|
||
5.Pengambilan
Keputusan atas RUU APBN
|
||
Berdasarkan
UU No.13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa RUU APBN diambil
keputusan oleh DPR dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan dilaksanakan).
|
||
APBN
yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan dan jenis belanja.
|
||
Apabila
DPR tidak menyetujui RUU APBN, pemerintah pusat dapat melakukan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
|
||
Laporan Realisasi SM
I dan Prognosa SM II APBN
1. Pemerintah menyampaikan laporan realisasi semester I dan
Prognosis semester II APBN selambat-lambatnya akhir juli dalam tahun berjalan.
2.
Pembahasan antara Panitia Anggaran dengan Pemerintah.
Perubahan/ Penyesuaian APBN
Perubahan
APBN dilakukan bila terjadi:
1. Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi
yang digunakan dalam APBN.
2.
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal.
3. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
antar unit organisasi,antar kegiatan,dan antar jenis belanja.
4. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun
sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Proses
pembahasan RUU perubahan APBN sama dengan APBN induk, tetapi tidak melalui
tahap pemandangan umum fraksi dan jawaban pemerintah atas pandangan umum
fraksi-fraksi (short cut).
f) Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBN
Presiden
menyampaikan RUU pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh BPK,selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan
keuangan meliputi:
1.
Laporan Realisasi APBN
2.
Neraca
3.
Laporan Arus Kas
4. Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan Laporan
keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
2. APBN 2013
Untuk pertama kalinya sejak tahun 1960 an
pada kuartal kedua tahun 2013 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan.
Defisit neraca perdagangan pada kuartal kedua tahun 2013 sebesar USD 709 juta,
meskipun pada kuartal ketiga 2013 trade balance sudah menunjukan trend
positif namun masih dalam posisi yang cukup rentan. Kondisi ini tentunya perlu
mendapatkan perhatian serius dari seluruh stakeholder karena jika tidak segera
ditangani akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi perekonomian
secara keseluruhan. Trade defisit terjadi karena pada suatu periode
tertentu nilai impor lebih besar dari nilai ekspor, dengan demikian untuk
mengatasi hal ini perlu dilakukan melalui upaya pengendalian impor dan
peningkatan ekspor. Salah satu upaya yang dilaksanakan pemerintah untuk
mencapai tujuan tersebut, adalah melalui kebijakan pendapatan negara .
Semenjak
jaman reformasi, Indonesia menganut sistem defisit pada APBN (data APBN
terlampir). Kemudian Pemerintah mengatasi defisit APBN tersebut dengan hutang
dalam negeri dan hutang luar negeri. Di sini Pemerintah akan menaikkan pendapatan
dari menaikkan pajak untuk memperkecil hutangnya. Berbagai kebijakan fiskal
dilakukan pemerintah untuk pendapatan.
a) Kebijakan Fiskal
Pemerintah
1.
Kebijakan peningkatan tarif PPh
Pasal 22 impor untuk barang tertentu dari 2,5% menjadi 7,5%. Tujuan kebijakan
ini adalah untuk membantu mengurangi defisit neraca perdagangan yaitu dengan
cara mengendalikan impor barang.
2. Penambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) Orang Pribadi dari Rp 15.840.000/tahun menjadi Rp 24.300.000/tahun
mulai 1 Januari 2013. Karena PTKP adalah komponen pengurang untuk Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21 Orang Pribadi, maka Menteri Keuangan saat itu, Agus
Martowardjojo melakukan kebijakan tersebut agar pertumbuhan ekonomi masyarakat
diharapkan meningkat.
3. Kebijakan peningkatan tarif Pajak Penjualan (PPnBM) yaitu kendaraan
bermotor mewah. Kebijakan ini pada dasarnya diluncurkan untuk mengendalikan
konsumsi masyarakat terhadap barang-barang mewah dan dampak lanjutannnya adalah
mengendalikan impor karena barang-barang mewah tersebut sebagian besar
merupakan barang yang belum diproduksi di dalam negeri.
4. Fasilitas tax allowance bagi industri tertentu serta daerah
tertentu dan tax holiday bagi industri pioner. Kebijakan tersebut
diharapkan dapat membantu untuk melakukan perubahan struktural (structural
change) industri dalam negeri yaitu dengan memilih industri dalam negeri
yang menghasilkan produk bahan baku penolong yang selama ini masih diimpor (import-substituion
intermediate goods) sebagai industri yang diprioritaskan berhak mendapatkan
kedua fasilitas ini. Peningkatan jumlah industri yang menghasilkan import-substituion
intermediate goods diharapkan dapat membantu pengendalian defisit neraca
perdagangan. Hal ini terutama karena dalam beberapa tahun terakhir kurang lebih
70 persen dari total impor adalah impor atas bahan baku/penolong.
5. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) merupakan kebijakan pembebasan Bea
Masuk bahan baku/penolong bagi perusahaan KITE selama bahan tersebut digunakan
untuk menghasilkan produk yang di ekspor.
6. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima Atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Dalam PP ini, mengatur
bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak tersebut yakni Wajib
Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap;
dan menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.
Hal ini tentu saja akan berdampak
pada peningkatan pemdapatan nasional. Jika kita lihat, masih banyak WP O/P atau
Badan yang tidak melaporkan usahanya dengan jujur. WP bisa saja merekayasa
laporan keuangan untuk memperkecil pajaknya. Dengan dibuat peraturan seperti
ini, WP tidak dapat berkelak lagi, karena langsung dikenakan PPh final. Dan itu
langsung dikenakan 1% dari nilai transaksi yang ada di kwitansi.
7.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mencabut Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2013 dan Peraturan Presiden Nomor
106 Tahun 2013 tentang pemberian pelayanan kesehatan "gratis"
paripurna melalui mekanisme asuransi kesehatan kepada Menteri dan Pejabat
Tertentu."Dengan demikian kedua Perpres itu tidak berlaku sebab ternyata
semua sudah diatur sebagai pelengkap Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mulai berlaku 1 Januari
2014," kata SBY. Menurut SBY, isi kedua perpres itu sebenarnya adalah
tentang pengaturan khusus terhadap pelayanan pengobatan pejabat negara dan
pemerintahan dengan sistem asuransi. Namun karena sudah ada kebijakan SJSN dan
BPJS yang mulai berlaku 2014 nanti, semua akan diintegrasikan di situ dan tak
diperlukan pengaturan-pengaturan yang terlalu khusus. "Jadi pejabat
negara, pejabat pemerintahan, beserta istri dan keluarganya masuk dalam sistem
BPJS itu," kata SBY.
b) Jenis Kebijakan Fiskal yang Dilakukan Pemerintah
1.
Dengan kebijakan peningkatan tarif
PPh Pasal 22 impor dari 2,5% menjadi 7,5% akan berdampak pada peningkatan
penerimaan pajak. Ini merupakan kebijakan fiskal kontraktif.
2. Penambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) Orang Pribadi dari Rp 15.840.000/tahun menjadi Rp 24.300.000/tahun
akan berdampak pada penurunan jumlah penerimaan negara pada PPh Orang Pribadi
(O/P). Namun, hal ini dapat menaikkan tingkat daya beli dan konsumsi
masyarakat. Ini merupakan kebijakan fiskal ekspansif.
3. Kebijakan peningkatan tarif Pajak
Penjualan (PPnBM) akan berdampak pada peningkatan penerimaan pajak. Ini
merupakan kebijakan fiskal kontraktif.
4. Fasilitas tax allowance bagi industri tertentu serta daerah
tertentu dan tax holiday bagi industri pioner dilakukan karena dalam
beberapa tahun terakhir kurang lebih 70 persen dari total impor adalah impor
atas bahan baku/penolong. Hal ini sudah pasti akan berdampak pada penurunan
jumlah penerimaan negara. . Namun, hal tersebut dapat menggerakkan sektor rill.
Ini merupakan kebijakan fiskal
ekspansif.
5. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor
(KITE) akan berdampak pada penurunan jumlah penerimaan negara pada PPN impor.
Namun, hal ini dapat menggerakkan sektor rill. Masyarakat diharapkan akan
meningkatkan ekspor yang mana dapat mengurangi bahkan menghilangkan defisit
transaksi berjalan. Ini merupakan kebijakan fiskal ekspansif.
6. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima Atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Dalam PP ini, mengatur
bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebesar 1% dari omzet. Hal ini akan berdampak pada peningkatan penerimaan
pajak. Ini merupakan kebijakan fiskal kontraktif.
7.
Pencabutan Peraturan Presiden Nomor
105 Tahun 2013 dan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2013 tentang pemberian
pelayanan kesehatan "gratis" paripurna melalui mekanisme asuransi
kesehatan kepada Menteri dan Pejabat Tertentu merupakan upaya pemerintah dalam
mengefisienkan pengeluaran pemerintah. Kebijakan tersebut adalah kebijakan
fiskal kontraktif.
BAB IV. KESIMPULAN
Secara umum terdapat empat permasalahan
ekonomi makro, yaitu: (1) tingkat harga agregat (inflasi); (2) produk domestik
bruto (PDB); (3) penyerapan tenaga kerja (employment);
dan (4) neraca pembayaran atau balance of
payment (BOP). Keempat permasalahan ekonomi makro tersebut dapat
dipengaruhi oleh pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter, yang umumnya
dilaksanakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu, institusi fiskal
(Kementerian Keuangan) dan institusi moneter (Bank Indonesia). Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian
melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara.
Dalam
melakukan kebijakan fiskal, Pemerintah melakukan 2 cara, yaitu kebijakan fiskal
kontraktif dan kebijakan fiskal ekspansif.
Kebijakan Fiskal Kontraktif : Government Expenditure atau Belanja Pemerintah ↓
Tax atau Pajak ↑
Kebijakan Fiskal Ekspansif : Government Expenditure atau Belanja Pemerintah ↑
Tax atau Pajak ↓
Dengan
kebijakan-kebijakan tersebut, Pemerintah berharap dapat menimbulkan
kesejahteraan ekonomi dan berkurangnya kesenjangan sosial antar masyarakat.
Namun
terkadang, kebijakan-kebijakan tersebut tidaklah berjalan mulus sesuai harapan.
Ada beberapa kendala yang terjadi. Misal, pada kebijakan Pemerintah menurunkan PTKP
O/P, Pemerintah berharap agar masyarakat dapat meningkatkan konsumsinya. Namun,
tingkat inflasi yang tinggi pada tahun 2013 yang diakibatkan oleh defisit
transaksi berjalan, menimbulkan kenaikkan harga barang. Sehingga kemampuan
masyarakat untuk membeli barang-barang konsumsi juga akan berkurang.
Lalu,
kebijakan KITE, malah memperparah defisit transaksi berjalan. Jika kita berada
pada posisi eksportir, tentu diuntungkan dengan keadaan inflasi. Sebagai
gambaran, jika eksportir biasa menerima Rp 11.000/$, sekarang eksportir dapat
menerima Rp 12.000/$. Dan salah satu kesulitan Bank Indonesia (BI) mengatasi
inflasi adalah simpanan masyarakat menengah ke atas untuk spekulasi $.
Kemudian
dari segi internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluhkan
sulitnya menambah pegawai. Padahal jumlah pegawai mereka dianggap masih kurang.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menyoroti persoalan manajemen. Dikatakannya, manajemen adalah yang utama dan akan terus berulang di tahun-tahun mendatang apabila sistem birokrasi pemerintah tidak diubah. "Kita mau nambah pegawai susah banget. Lewat satu institusi, di mana institusi itu gak bakal ngerti. Jadi, political economy kita memang sudah parah sehingga DJP dilupakan," kata Fuad seraya menyebut permintaannya menambah pegawai telah diutarakan dua tahun silam. Sebagai gambaran, jumlah pegawai Ditjen Pajak saat ini adalah 32.214 orang. Jika dibandingkan dengan 2009, jumlahnya hanya meningkat tipis sebab kala itu jumlah pegawai otoritas pajak adalah 31.825 orang. Fuad mengaku risau, bagaimana mempertanggungjawabkan kondisi ini kepada publik. Berdasarkan catatan DJP, jumlah orang pribadi yang membayar pajak baru sekitar 30 persen atau jauh lebih rendah dibandingkan karyawan yang tercatat sekitar 80 persen. Akan tetapi, sumbangan PPh 21 sudah mencapai Rp 80 triliun, sementara sumbangan PPh 25 dan 29 baru sekitar Rp 4 triliun.
Lalu, apa yang salah? Fuad mengatakan, "Yang salah bukan peraturan, tapi manajemen dan kepatuhan. Tapi, saya gak mau salahkah kepatuhan karena orang pada dasarnya gak mau bayar pajak. Kepatuhan harus dibuat dan ini erat kaitannya dengan kemampuan kita menjangkau dan mengingatkan untuk membayar pajak." Fuad mencontohkan, Jepang dengan jumlah penduduk 120 juta orang, memiliki jumlah pegawai 56 ribu orang. Walaupun sistem perpajakan Negeri Sakura telah mumpuni, tetapi diperlukan pegawai yang banyak untuk mengingatkan wajib pajak melunasi kewajibannya. "Yang negur bayar pajak harus orang, bukan sistem," kata Fuad.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany menyoroti persoalan manajemen. Dikatakannya, manajemen adalah yang utama dan akan terus berulang di tahun-tahun mendatang apabila sistem birokrasi pemerintah tidak diubah. "Kita mau nambah pegawai susah banget. Lewat satu institusi, di mana institusi itu gak bakal ngerti. Jadi, political economy kita memang sudah parah sehingga DJP dilupakan," kata Fuad seraya menyebut permintaannya menambah pegawai telah diutarakan dua tahun silam. Sebagai gambaran, jumlah pegawai Ditjen Pajak saat ini adalah 32.214 orang. Jika dibandingkan dengan 2009, jumlahnya hanya meningkat tipis sebab kala itu jumlah pegawai otoritas pajak adalah 31.825 orang. Fuad mengaku risau, bagaimana mempertanggungjawabkan kondisi ini kepada publik. Berdasarkan catatan DJP, jumlah orang pribadi yang membayar pajak baru sekitar 30 persen atau jauh lebih rendah dibandingkan karyawan yang tercatat sekitar 80 persen. Akan tetapi, sumbangan PPh 21 sudah mencapai Rp 80 triliun, sementara sumbangan PPh 25 dan 29 baru sekitar Rp 4 triliun.
Lalu, apa yang salah? Fuad mengatakan, "Yang salah bukan peraturan, tapi manajemen dan kepatuhan. Tapi, saya gak mau salahkah kepatuhan karena orang pada dasarnya gak mau bayar pajak. Kepatuhan harus dibuat dan ini erat kaitannya dengan kemampuan kita menjangkau dan mengingatkan untuk membayar pajak." Fuad mencontohkan, Jepang dengan jumlah penduduk 120 juta orang, memiliki jumlah pegawai 56 ribu orang. Walaupun sistem perpajakan Negeri Sakura telah mumpuni, tetapi diperlukan pegawai yang banyak untuk mengingatkan wajib pajak melunasi kewajibannya. "Yang negur bayar pajak harus orang, bukan sistem," kata Fuad.
Namun,
setiap kebijakan pasti akan menemui kendala-kendala yang dapat membuat kebijakan
tersebut tidak berjalan mulus. Hanya saja disini diperlukan celah-celah lain
untuk meningkatkan pendapatan nasional dengan cara kebijakan fiskal dan
efisiensi pengeluaran pemerintah. Tingkat kedisiplinan dari Pemerintah lah yang
mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pendapatan nasional. Hukuman yang
adil bagi para pelanggar dengan tidak pandang bulu merupakan kebijakan yang
tepat.
BAB V. SARAN
1.
Pemerintah tetap melakukan
kebijakan-kebijakan fiskal tersebut dalam rangka menstabilisasikan kondisi
perekonomian Indonesia.
2.
Pemerintah harus melakukan
intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan agar sektor-sektor yang berpotensi
menghasilkan pajak dapat diperluas dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.
3.
Pemerintah harus bertindak tegas
bagi para pelanggar pajak tanpa pandang bulu.
4.
Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (KemPAN) harus menambah proporsi jumlah
karyawan di Direktorat Jenderal Pajak, khususnya bagian fungsional pemeriksa
pajak agar dapat menjangkau Wajib Pajak-Wajib Pajak nakal yang tidak membayar
pajak sesuai ketentuan dan peraturan perpajakan agar membayar pajaknya. Tentu
saja peningkatan pegawai pajak harus diimbangi dengan skill (SDM) yang berkualitas.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28120/4/Chapter%20II.pdf
www.google.com
0 komentar:
Posting Komentar